Pengunjung Monumen Nasional yang sedang berkeliaran di pintu masuk menuju ke dalam tugu Monas |
Pria yang memakai rompi biru ternyata tak hanya sendiri. Ketika saya berputar sebentar mengelilingi monas, hampir setiap sudut monas banyak pengguna rompi biru itu. Tapi, tidak semua menggunakan kamera digital, ada beberapa dari mereka masih menggunakan kamera Polaroid.
“Orang yang memakai Polaroid itu
rata-rata orang-orang yang sudah lama sekali di sini, kalau kayak kami yang menggunakan kamera
digital ini baru sekitar tahun 2000-an mulai seperti ini,” Ali, pemuda berompi
biru asal Wonogiri ini sedikit becerita ketika saya menggunakan jasanya.
Lima belas ribu Rupiah yang saya
keluarkan untuk menggunakan jasanya dan langsung cetak di tempat. Pria berompi
biru itu pun pertama-tama akan menunjukkan beberapa latar belakang yang akan
dipilih konsumennya. Sekitar ada dua belas latar belakang yang ditawarkan pria rompi biru ini kepada
pengunjung tempat yang dulunya bernama Lapangan Ikada ini.
Pria yang sudah sebelas tahun di Jakarta ini
termasuk ke dalam Paguyuban Tukang Foto Monas yang sekretariatnya tidak begitu
jauh dari tempat ia menjual jasanya tersebut. Di Paguyuban tersebut, mereka
yang baru-baru akan di latih oleh para pendahulunya.
“Paguyuban ini sudah diresmikan oleh
gurbernur DKI, loh, jadi kita semua
disini resmi,” Ali tersenyum setelah mengatakan pernyataan tersebut.
Namun, tidak semua pria berompi biru
ini termasuk ke dalam paguyuban tersebut. Para pengguna kamera Polaroid tidak
termasuk ke dalam paguyuban, hanya para pengguna kamera digital saja yang
tergabung di dalamnya.
“Kan yang pake Polaroid itu lebih
dulu di sini, Jadi mereka diberikan rompi biru tanda bahwa mereka itu juga
resmi di sini, tapi mereka tetep bukan anggota paguyuban loh,” Ali menjelaskan
keberadaan para pengguna Polaroid itu dengan sedikit bisik-bisik.
*
Dahulu, sebelum ia menjadi penjaja
jasa foto di Monas, hujan bukanlah sesuatu yang ditakutkannya. Bahkan, katanya,
waktu kecil di kampungnya ia sering hujan-hujanan bersama teman-temannya,
seolah kata-kata hujan adalah berkah adalah benar.
Tapi, semenjak ia menjadi tukang foto
di Monas ini, hujan bukan merupakan berkah baginya. Bukan hanya karena hujan
maka ia tidak mendapatkan rezeki dari pengunjung. Tapi, bila hujan datang
tiba-tiba akan membuatnya kesulitan mencari tempat untuk berteduh dari hujan
tersebut.
“di Monas ini mah, tidak ada tempat
untuk berteduh, coba abang liat saja sekelilingnya tuh,” ia menunjukkan kepada
saya sekitaran monas dengan Jari telunjuknya.
Memang, yang ada di tempat wisata itu
hanya pepohonan dan rumput. Tidak ada tempat untuk berteduh. Ternyata, Ali dan
teman-temannya sempat menemui pengurus Monas untuk menyarankan di bangun tempat
berteduh di area wisata tersebut. Hanya saja, sampai detik sekarang belum ada
realisasinya.
“Kasihan kan pengunjung, harus
berhamburan berlarian ke Gambir kalau hujan, memang kadang ada ojek payung tapi
itu juga telat mereka datangnya, keburu para pengunjung kebasahan,” ungkap Ali
dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
Lalu
dampak untuk para pemakai rompi biru ini bila hujan ialah tidak akan
mendapatkan penghasilan. Selain itu, bila hujannya dadakan, maka pemegang
kamera dan printer itu harus berlari mencari tempat teduh untuk menghindari
hujan yg bisa merusak alat foto dan cetaknya tersebut.
Agen Judi Bola
BalasHapusAgen Judi Online
Agen Judi
Agen Bola
Agen Sbobet
Agen Bola Ibcbet
Agen Casino Online
Agen Terpercaya
Agen Judi Terpercaya