Kamis, 15 September 2011

Si Rompi Biru Melawan hujan

Pengunjung Monumen Nasional yang sedang berkeliaran di pintu masuk menuju ke dalam tugu Monas
Kamera digital sederhana dan printer kecil menemani pria berompi biru di sekitar Monumen Nasional, Jakarta. Di bawah terik matahari siang yang panas, sekitar pukul satu siang, ia bersama beberapa kawannya duduk di bawah pohon kecil. Kawannya bukan menjual jasa foto, tetapi menjajakan berbagai aksesori yang berhubungan dengan Monumen Nasional atau biasa disebut Monas.

Pria yang memakai rompi biru ternyata tak hanya sendiri. Ketika saya berputar sebentar mengelilingi monas, hampir setiap sudut monas banyak pengguna rompi biru itu. Tapi, tidak semua menggunakan kamera digital, ada beberapa dari mereka masih menggunakan kamera Polaroid.
“Orang yang memakai Polaroid itu rata-rata orang-orang yang sudah lama sekali di sini, kalau kayak kami yang menggunakan kamera digital ini baru sekitar tahun 2000-an mulai seperti ini,” Ali, pemuda berompi biru asal Wonogiri ini sedikit becerita ketika saya menggunakan jasanya.
Lima belas ribu Rupiah yang saya keluarkan untuk menggunakan jasanya dan langsung cetak di tempat. Pria berompi biru itu pun pertama-tama akan menunjukkan beberapa latar belakang yang akan dipilih konsumennya. Sekitar ada dua belas latar belakang  yang ditawarkan pria rompi biru ini kepada pengunjung tempat yang dulunya bernama Lapangan Ikada ini.
 Pria yang sudah sebelas tahun di Jakarta ini termasuk ke dalam Paguyuban Tukang Foto Monas yang sekretariatnya tidak begitu jauh dari tempat ia menjual jasanya tersebut. Di Paguyuban tersebut, mereka yang baru-baru akan di latih oleh para pendahulunya.
“Paguyuban ini sudah diresmikan oleh gurbernur DKI, loh, jadi kita semua disini resmi,” Ali tersenyum setelah mengatakan pernyataan tersebut.
Namun, tidak semua pria berompi biru ini termasuk ke dalam paguyuban tersebut. Para pengguna kamera Polaroid tidak termasuk ke dalam paguyuban, hanya para pengguna kamera digital saja yang tergabung di dalamnya.
“Kan yang pake Polaroid itu lebih dulu di sini, Jadi mereka diberikan rompi biru tanda bahwa mereka itu juga resmi di sini, tapi mereka tetep bukan anggota paguyuban loh,” Ali menjelaskan keberadaan para pengguna Polaroid itu dengan sedikit bisik-bisik.
*
Dahulu, sebelum ia menjadi penjaja jasa foto di Monas, hujan bukanlah sesuatu yang ditakutkannya. Bahkan, katanya, waktu kecil di kampungnya ia sering hujan-hujanan bersama teman-temannya, seolah kata-kata hujan adalah berkah adalah benar.
Tapi, semenjak ia menjadi tukang foto di Monas ini, hujan bukan merupakan berkah baginya. Bukan hanya karena hujan maka ia tidak mendapatkan rezeki dari pengunjung. Tapi, bila hujan datang tiba-tiba akan membuatnya kesulitan mencari tempat untuk berteduh dari hujan tersebut.
“di Monas ini mah, tidak ada tempat untuk berteduh, coba abang liat saja sekelilingnya tuh,” ia menunjukkan kepada saya sekitaran monas dengan Jari telunjuknya.
Memang, yang ada di tempat wisata itu hanya pepohonan dan rumput. Tidak ada tempat untuk berteduh. Ternyata, Ali dan teman-temannya sempat menemui pengurus Monas untuk menyarankan di bangun tempat berteduh di area wisata tersebut. Hanya saja, sampai detik sekarang belum ada realisasinya.
“Kasihan kan pengunjung, harus berhamburan berlarian ke Gambir kalau hujan, memang kadang ada ojek payung tapi itu juga telat mereka datangnya, keburu para pengunjung kebasahan,” ungkap Ali dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
Lalu dampak untuk para pemakai rompi biru ini bila hujan ialah tidak akan mendapatkan penghasilan. Selain itu, bila hujannya dadakan, maka pemegang kamera dan printer itu harus berlari mencari tempat teduh untuk menghindari hujan yg bisa merusak alat foto dan cetaknya tersebut.

1 komentar: